Mitologi Cina - Nuwa Menciptakan Manusia
Berbeda dengan Panku, sang Pencipta alam semesta yang
laki-laki, pencipta manusia adalah dewi Nuwa. Nuwa disebutkan dengan jelas di
beberapa naskah China kuno seperti A Classic of History (Abad ke-8 SM), A
Classic of Mountains and Seas (Abad ke 3 SM), dan Questions of Heaven (Abad ke
4 SM).
Sebagai tambahan, banyak gambar Nuwa ditemukan di patung perunggu dan lukisan
China kuno. Seperti dewa-dewa masa kuno yang lain, Nuwa berwujud setengah
binatang dan setengah dewa. Seringnya, Nuwa memiliki wajah dan lengan seperti
manusia namun bertubuh seperti ular atau naga. Ia bisa mengubah wujudnya
menjadi apa saja yang ia inginkan. Dalam literature China modern, Nurwa lebih
sering dilukiskan sebagai wanita yang cantik.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita di China tidak memiliki peranan sosial. Namun
demikian, dalam perannya sebagai ibu dan istri, wanita sangatlah kuat. Karena
wanita pada umumnya hidup lebih lama disbanding suaminya, mereka sering
memaksakan diri dan menjalankan rumah tangga setelah kematian pasangannya.
Begitu juga dalam hal politik, beberapa wanita (kaisar wanita) menjadi sangat
kuat setelah kematian suami mereka.
Meski sebagian besar dewa adalah laki-laki, Nuwa adalah dewi yang sangat kuat
dalam mitologi kuno. Ia menciptakan umat manusia dan bertanggung jawab
memperbaiki bumi.
Dunia adalah permata yang berkilauan. Pohon pinus yang kuat member titik pada
pegunungan, dan pohon Willow melapisi aliran sungai. Apel, buah quince, dan
bunga plum yang penuh dan menjadi bunga hingga kemudian menjadi buah yang
matang dan masak. Burung berseliweran di langit biru, meninggalkan jejak hitam,
merah tua, dan bulu-bulu hijau yang berwarna-warni yang melayang bersama angin.
Gegat dan ikan berenang gembira di perairan. Hewan buas seperti macan dan hewan
yang lembut seperti kijang menjelajah dengan penuh kebebasan melintasi bukit
berbatu.
Mitologi Cina - Nuwa Menciptakan Manusia
Nurwa, seorang dewi, tidak sengaja tersandung pada dunianya yang bergetar
ketika dalam perjalanannya. Bumi sedang bersenandung dengan penuh semangat.
Nuwa heran dengan makhluk menakjubkan yang sangat banyak ini, kemanapun pun
menatap, ia melihat makhluk yang lebih mengherankan dari sebelumnya. Ia melihat
tiap macam rambut dan sirip, bulu dan sisik, tanduk, kuku dan sengat. Makhluk yang
tertatih, merayap, dan melata di atas bumi. Ada yang melompat, berlari dengan
cepat, dan berputar dalam laut. Bunga yang harum seperti melati, bunga bakung,
dan narcissus, membungkus seluruh dunia dalam kehangatannya dan wangi yang
kuat.
Namun ketika ia menjelajahi ceruk dan pecahan, Nuwa merasa aneh dan tidak puas
dengan bumi yang mulai ia kenal ini. Sang dewi melihat bumi sebagai sesuatu
yang memikat. Namun kosong. Nuwa merasa kesepian; ia duduk di pinggir sungai
merenung. Ia menatap bayangannya di air, dan tiba-tiba ia tahu apa yang kurang:
ia ingin bumi diisi dengan makhluk yang dapat berpikir dan tertawa sepertinya.
Sungai di depannya tertulur dan ombaknya menampar pinggiran sungai. Air hijau
yang keruh meninggalkan lingkaran tanah kuning yang kental di sekitar pinggiran
sungai. Nuwa merasakan tekstur yang licin itu dengan ujung jemarinya dan
mencetak sebuah bola dari tanah liat. Tanah dingin dan licin yang disimpan oleh
sungai sangatlah cocok untuk pekerjaannya, dan ia menggulung tanah liat yang
basah itu menjadi sebuah bonkea, memberinya kepala, bahu, dada, dan tangan
seperti dirinya. Untuk tubuh bagian bawah boneka, ia ragu. Nuwa memutuskan
memberinya sisik dan kuku seperti cicak, atau sirip dan ekor seperti ikan.
Kedua bentuk itu sangat berguna, sejak sang dewi mengubah bentuk bagian bawah
tubuhnya sendiri secara bertahap agar bisa mengelilingi lautan dan surge dengan
cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk memberikan kaki untuk makhluk barunya
sehingga ia bisa berjalan di tanah dan mendayung di laut.
Dari berbagai corak tanah kuning, Nuwa membuat boneka tinggi dan boneka pendek.
Ia membuat boneka kurus dan gemuk. Ia membuat boneka dengan rambut keriting dan
rambut lurus. Ia membuat boneka dengan mata yang sebulat dan selebar ceri,
beberapa yang lain dengan mata sepanjang dan sesipit sayap nyamuk. Ia membuat
beberapa boneka dengan mata gelap segelap langit tengah malam, sedangkan yang
lain begitu terang seperti madu cair. Masing makhluk berbeda, sehingga sang
dewa bisa mengenali ciptaannya. Kemudian, ketika ia meniupkan nafas pada setiap
bonekanya, bonekanya membuka matanya untuk hidup, tertawa kecil, dan juga
meloncat.
Nuwa sangat gembira dengan hasil pekerjaan tangannya hingga ia ingin membuat
lebih banyak lagi. Tapi ia butuh cara yang lebih cepat. Di sepanjang pinggiran
sungai, alang-alang ramping melengkungkan batangnya yang anggun di atas air.
Nuwa menggulung lengan bajunya, memotong alang-alang itu, lalu mencelupkannya
ke dalam lumpur sungai seperti sebuah sendok. Dengan lincah, ia mengibaskan
pergelangan tangannya dan menjatuhkan gumpalan lumpur di tanah. Ketika lumpur
itu kering, ia meniupkan udara yang sangat bayak pada tiap gumpalan, dan
seketika gumpalan itu menjadi makhluk yang bulat dan bisa tersenyum. Tawa ceria
dari makhluk ciptaannya mengisi benak sang dewi dengan kebahagiaan dan rasa
bangga.
Namun Nuwa lelah. Meskipun ia sagat mencintai ciptaannya, ia sadar jika ia
tidak bisa mengawasi manusia setiap saat. Apa yang akan terjadi pada makhluk
ini jika mereka tumbuh menjadi tua dan mati? Nuwa tidak ingin memperbaiki lagi,
namun ia juga tidak ingin mengulangi membuat manusia yang baru. Ia berpikir dan
berpikir. Bagaimana makhluk ini bisa berkembangbiak tanpanya?
Dengan sebuah simpul dan colekan, Nuwa menjadikan beberapa tanah liat itu
laki-laki dan perempuan, kemudian mengangkat makhluk yang tergelincir dan jatuh
ke lumpur. Di tengah keributan, ia mulai memberikan perintah yang paling
pentin. Ketika Nuwa bicara, keributan berhenti dan berubah menjadi keheningan.
Manusia mendengarkan dengan khidmat pada kata Nuwa. Nuwa berbcara tentang
pentingnya pernikahan dan kewajiban pasangan pada masing-masing pasangannya,
nuwa mengajari mereka cara membuat anak dan menjaganya. Ia berharap mereka bisa
hidup lama dan bahagia di bumi. Ketika sang dewi pergi, ia menunjukkan
harapannya yang sangat agar mereka bisa membuat manusia baru dan hidup bahagia
tanpanya. Kemudian Nuwa naik ke langit, duduk di kereta yang berderap yang
ditarik enam naga bersayap.
Hingga hari ini, manusia melanjutkan untuk menikah dan memiliki anak-anak yang
mencerahkan dunia dengan tawa dan bahagia mereka, seperti boneka lumpur yang
menarik di hari Nuwa.
Sumber: Buku Mitologi Cina, Irene Dea Collier, Cetakan I : 2011
0 komentar :
Posting Komentar